Wilayah Jawa Tengah bagian Barat sebelum dibagi menjadi 3 bagian yaitu : Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Sebelum dan sesudah masehi banyak kerajaan-kerajaan yang terkenal dan tercatat dalam sejarah seperti : Singosari, Kediri, Mataram, Majapahit, dan Pajajaran. Jawa Tengah bagian Barat pada saat sebelum dibagi menjadi 3 bagian termasuk kekuasaan kerajaan Prabu Siliwangi, yang menjadi kepala wilayah kerajaan Siliwangi bagian Timur putra raja Prabu Siliwangi yang bernama Raden Jaka Sumbaga,yang dimakamkan di Pasarean Pasir Pari Desa Boja. Setelah adanya pembagian wilayah Jawa Tengah dan Jawa Barat berbatasan dengan sungai Cijolang. Penduduk Kabupaten Cilacap bagian Barat terutama Kec. Wanareja, Kec. Dayeuhluhur, dan Kec. Majenang sebagian berbahasa Sunda karena tadinya menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Prabu Siliwangi tapi bukan suku Sunda termasuk suku Jawa. Datang agama Islam ke Indonesia tahun 1200 M dibawa oleh saudagar-saudagar dari Persia dan Gujarat, ia datang ke Indonesia sambil menyiarkan agama Islam. Di pulau Jawa penduduknya beragama Budha dan Hindu dengan kecerdikan dan kelihean cara penyebaran agama Islam di Pulau Jawa, yang dikenal dengan nama Wali Sanga. Pada saat peradaban agam Budha di Pulau Jawa banyak di bangun Candi-Candi yang sampai saat ini masih ada seperti : Candi Dieng, Candi Borobudur, Candi Sewu, Candi Mendut, Candi Kalasan, dan Candi Lorojonggrang yang ada di Jawa Tengah.
Merupakan peninggalan sejarah yang sangat berharga dan menjadi objek Wisata
Lokal maupun Manca negara. Setelah masuknya Islam ke Indoesia pada tahun 1200 M berkembang dengan aman dan damai, berkat perjuangan para Wali. Dengan cerdiknya para Wali diantaranya Sunan Kalijaga membuat kesenian wayang kulit untuk menarik masyarakat untuk menonton Pagelaran Wayang Kulit. Menyampaikan dua kalimat Syahadat dengan nama Jimat Kalimursada dan Rukun Islam yang 5 dengan sebutan Kuku Pancanaka. Untuk wilayah Pulau Jawa Islam sudah berkembang bahkan diluar pulau Jawa seperti di Sumatra dan Sulawesi. Sistem kerajaan diganti degan nama Kesultanan.
Wilayah Jawa Tengah bagian Barat termasuk kekuasaan Kesultanan Surakarta, pada saat itu yang menjadi Sultan yaitu Sultan Hadi Wijaya. Pada tahun 1422 M agama Islam sudah berkembang pesat, agama Budha dan Hindu penganutnya makin berkurang adat-adat Budha banyak yang di Islamkan. Maka pada saat pemerintahan Sultan Hadi Wijaya yaitu pada Tahun 1422 M berdirilah Desa kita yaitu dengan nama Desa Boja, yang menjadi pimpinan pertama dengan gelar “Dalem”, karena memakai sistem peraturan Kesultanan yang mejadi atau yang ditunjuk menjadi Dalem pertama di Desa Boja yaitu Dalem Arsawangsa yang peninggalannya ada di Makam Balundeng Jerotengah Desa Boja berupa Tabet. Nama Desa Boja diambil dari nama Dangean, Dangean Desa Boja itu Dangeannya putri yaitu dengan nama Dangean Bojawati. Nama Boja letaknya ada di Jerotengah yaitu dibagian Tengah sebelah Selatan Cilopang sampai Caringin sebelah Timur jalan lingkar sampai muara Citambelang dan Cilopang ke Selatan sampai Caringin.
Dalem Arsawangsa menikah dengan seorang perempuan yang bernama Nyi Gendu Ayu Sulastri mereka dikaruniai dua orang anak yang bernama Nyi Rum Siti dan yang kedua Wana Wacana.
Wilayah Desa Boja terletak di Dataran Tinggi Rendah yang dikelilingi dengan bukit-bukit yang merupakan batas-batas, dari sebelah Barat berbatasan dengan Desa Pangadegan Utara dengan Desa Ujungbarang sebelah Timur Desa Cijati sebelah Selatan Desa Padangjaya dan Desa Bener, luas Desa Boja tanah 11.360 hektar, tanah Pesawahan 7.442 Hektar, Sawah Tadah Hujan 13 hektar.
Desa Boja dilewati 2 aliran sungai Cilumuh dan Cilopadang yang dijadikan lahan pertanian khususnya di bidang Pesawahan. Pada saat pemerintahan Dalem Arsawangsa timbul wabah penyakit dan pertanianpun kurang beruntung, Dalem Arsawangsa berusaha berbagai cara akhirnya ia melapor ke Kesultanan, menghadap Sultan ke Surakarta. Disampaikan kepada Sultan Hadiwijaya bahwa Desa Boja timbul wabah penyakit dan banyak yang meninggal dunia. Lalu Dalem Arsawangsa menceritakan kejadian di Desa Boja dan bertanya “harus bagaimana caranya untuk menolak penyakit yang sedang menyerang penduduk Desa Boja? “ , Jawab Sultan : “di Desa Boja itu harus diduduki oleh Turuhing Ratu Resebing Kusuma artinya harus diduduki seorang turunan kerajaan atau Sultan, tapi anaknya sekarang sedang mengaji di Rumpaka Demak menjadi muridnya Sunan Drajat bilamana, nanti sudah Mukim/tamat mengaji akan diutus ke Desa Boja namanya Raden Arsantaka. Setelah Raden Arsantaka mukim maka Sultan Hadi Wijaya memanggil Dalem Arsawangsa untuk menjemput Raden Arsantaka ke Surakarta. Berangkatlah Dalem Arsawangsa ke Surakarta menjemput Raden Arsantaka dan Raden Arsantaka didampingi temannya yang bernama Syekh Arya Pamot maka berangkatlah ke Boja Raden Arsantaka dan Syekh Arya Pamot bersama Dalem Arsawangsa. Setelah bermukim di Desa Boja Raden Arsantaka bersama Syekh Arya Pamot menyiarkan agama Islam dengan dasar Ahlussunnahwaljama’ah yang bermadzhabkan Imam Syafi’i, sampai saat ini untuk wilayah Desa Boja semua masyarakatnya berpegang teguh pada ajaran Ahlussunnahwaljama’ah sehingga paham-paham lain tidak bia masuk.
Dengan Ridha Allah maka Desa Boja aman dan maju. Putra putrinya Dalem Arsawangsa yang bernama Rum Siti di Nikahkan dengan Raden Arsantaka. Karena merasa aman dan maju Dalem Arsawangsa lama tidak melaporkan keadaan Desa Boja ke Surakarta, maka dipanggillah Dalem Arsawangsa untuk menghadap Sultan Hadi Wijaya ke Kraton Surakarta. Panggilan tersebut untuk melaporkan tentang keadaan Desa mengenai keamanan dan perkembangan Desa, disamping melaporkan tentang kemajuan dan keamanan akan di beri piagam penghargaan dan kenaikan pangkat. Nama piagam yang diterimanya adalah Payung Seret Lampit Kuning. Mengenai kenaikan dari Dalem diangkat menjadi Ngabei yaitu sama dengan Setingkat Camat. Ngabei merupakan bahasa Jawa Kuno yang artinya Gelar.
Dalem Arsawangsa merasa takut untuk menghadap Sultan ke Surakarta karena hukum yang berlaku adalah hukum gantung untuk semua orang yang melanggar peraturan kesultanan, padahal Sultan Hadi Wijaya dengan Dalem Arsawangsa adalah Besan. Karena Dalem Arsawangsa merasa salah lama tidak datang melapor ke Kraton takut dihukum gantung, untuk memenuhi panggilan Dalem Arsawangsa menugaskan anak menantunya yaitu Raden Arsantaka untuk menghadap Sultan, dengan pemikiran Dalem Arsawangsa tidak mungkin seorang Sultan tega untuk menghukum gantung kepada anaknya. Setelah Raden Arsantaka datang di Kraton Surakarta Sultanpun bertanya : “ Mana bapamu atau Besan ? “, Raden Arsantaka menjawab : “ Rama tidak berangkat , Rama mengutus hamba untuk menghadap Kanjeng Sultan dengan alasan Rama takut dihukum gantung. Sultan Hadi Wijaya pun langsung berkata : “ Bukan itu yang dimaksud bapa kamu atau Besan akan diberi piagam dan kenaikan pangkat, karena yang datang Raden Arsantaka ke Kraton dengan tegas piagam dan kenaikan pangkat diberikan kepada Raden Arsantaka. Karena Dalem Arsantaka tidak datang ke Kraton menghadap Sultan.” Mendengar kabar bahwa kenaikan pangkat dan piagam penghargaan diberikan kepada menantunya yaitu Raden Arsantaka akhirnya Dalem Arsawangsa marah dan hidup menyendiri di Balundeng lalu menghilang , sebelum menghilang Dalem Arsawangsa membuat Tabet di Balundeng yang sampai saat ini dianggap keramat oleh masyarakat Desa Boja. Raden Arsantaka terus melanjutkan pemerintahan di Desa Boja dengan gelar Ngabei dibantu oleh para Pandhakawan, diantaranya :
- Wana Wacana
- Rum Siti
- Syekh Arya Pamot
- Raden Jaka Sumbaga
- Puspa Laksana
- Puspa Wacana
- Puspa Diprana
- Kepek Ngambang
Kebudayaan :
Dalam pemerintahan Dalem Arsantaka kebudayaanpun berkembang,kesenian tradisional seperti : Tayuban Kuno, Ngagondang, Terbangan, Rudat, dan Muyen. Bila ada yang melahirkan diadakan Muyen atau Ngabungbang, dan diadakan Tembang Sunda yang Judulnya dalam Tembang itu meriwayatkan sejak nabi Muhammad SAW. Lahir hingga menjadi Rasul dan menceritakan zaman para khalifah dalam menyebarkan agama Islam di Jazirah Arab lamanya Muyen atau Ngabungbang 5 – 9 malam. Lagu-lagu Sunda diantaranya:
- Asmarandana
- Mijil
- Kinanti
- Sinom
- Magatruh
- Pucung
- Durma
- Pangkur
Adat :
Adatpun berkembang dan di pegang oleh masyarakat Desa Boja berbagai macam adat dilakukan sebab merupakan warisan dari Nenek Moyang terdahulu yang tudak bisa ditinggalkan sampai saat ini seperti :
- Tanam Padi
- Panen
- Membuat Rumah
- Hajatan (Walimatularus, Walimatul Khitan, Gusaran)
- Pindahan
- Mengisi Rumah Baru
- Perjodohan
- Sedekah Bumi / Suraan
Untuk kegiatan tersebut mencari hari-hari yang mujur untuk mencari keselamatan dan keberkahan, masalah ini adat yang tidak bisa ditinggalkan. Untuk seluruh wilayah desa Boja tidak bisa diadakan Pagelarab atau pertujukan Wayang Kulit maupun Wayang Golek karena tadinya Desa Boja sebelum menjadi kekuasaan Kesultanan Surakarta adalah wilayah kekuasaan Prabu Siliwangi. Akhirnya desa Boja oleh para sesepuh atau tokoh masyarakat terdahulu pada zaman pemerintahan Raden Arsantaka untuk seluruh wilayah Desa Boja dilarang mengadakan pertunjukan wayang Kulit maupun Wayang Golek yang sampai saat ini masih ditaati oleh masyarakat Desa Boja. Setelah Ngabei Raden Arsantaka meninggal dan para Pandhakawan dimakamkan di Pasarean Pasir Pari, untuk meneruskan pemerintahan di Desa Boja dilanjutkan oleh para Dalem, diantaranya :
- Dalem Sacaprana dimakamkan di Manganti
- Dalem Talumanggala
- Dalem Tanuwiarsa
- Dalem Sanukir dimakamkan di Astana Panjang Pajaten
Untuk merawat makam para leluhur Desa maka dibentuk kunci atau juru rawat. Kunci yang pertama, yang ditugaskan untuk merawat makam leluhur Desa Boja yaitu kunci dari Pagedongang Gunung Sagara yang bernama Baulijah setelah meninggal dilanjutkan oleh anaknya yang bernama :
- Nur Baen
- Nur Bain
- Nur Saleh
Semua para kunci setelah meninggal dunia semuanya dimakamkan di Astana Gede Burujulan yang sampai saat ini masih ada. Untuk perawatan makam-makan leluhur atau makam-makam keramat terus turun temurun sampai sekarang perawatan makam-makam keramat atau leluhur dilakukan 3 kali dalam 1 bulan, yaitu Senin Wage, Kamis Wage, Jum’at Wage. Sebulan sekali kunci datang ke kepala Desa untuk soan dan mendo’akan keluarga kepala desa, perangkat desa, dan seluruh lapisan masyarakat dalam segala usahanya masing-masing yang merantau dalam negri maupun luar negri dan semua anak-anak atau masyarakat desa Boja yang sedang mencari ilmu dari tingkat SD – Perguruan tinggi. Adat ini sejak kunci pertama sampai sekarang, siapapun Kepala Desanya di Desa Boja sampai sekarang terus dilakukan siapapun Kepala Desanya di masa yang akan datang. Dan siapapun kuncinya dari sekarang sampai masa yang akan datang setiap Kamis wage sebulan sekali sehabis merawat makam datang ke kapala desa melapor dan mendo’akan Desa Boja beserta seluruh lapisan masyarakatnya. Gelar Dalem diganti dengan istilah Kepala Desa atau kepala desa, Kepala Desa-Kepala Desa di Boja sebelum Indonesia merdeka yang diatur oleh kaum penjajah terutama Belanda dan Jepang.

Lambang Kabupaten Cilacap

Peta Wilayah Kabupaten Cilacap
Silsilah Kepala Desa
Berikut silsilah Kepala Desa Contoh mulai dari
awal didirikan sampai dengan sekarang
Kepala Desa Sebelum Kemerdekaan Republik Indonesia

Kertadirana
Periode Menjabat

Ketadiraksa
Periode Menjabat

Citra Wikrama
Periode Menjabat

Sula Dikarta
Periode Menjabat

Diryan
Periode Menjabat

Surawikrama
Periode Menjabat
Kepala Desa Setelah Kemerdekaan Republik Indonesia

Sanursi
Periode Menjabat

Sarju’i
Periode Menjabat

Majmudin
Periode Menjabat

Sumitro
Periode Menjabat

Sakim
Periode Menjabat

Dasto
Periode Menjabat
Pelaksana Tugas (PLT) Selama kekosongan Kepala Desa

Sohari
Periode Menjabat

Munawar
Periode Menjabat

Sumarto
Periode Menjabat

Mustarja
Periode Menjabat